Ironis sekali, sebagai anak asli
Sumbawa, tanpa ada darah blasteran sedikitpun, saya tak tahu banyak tentang
spot wisata di Sumbawa. Sy malah lebih sering berkeliaran di Lombok,
menjelejahi pantai2 dan air terjun nan eksotis karena Alhmdulillah Allah memberikan
sy kesempatan untuk menerapkan ilmu sy di BBPOM Mataram. Berkelana dengan si
putih (motor kesayangan) sudah sering sy lakukan dan bisa dibilang sudah
terlatih menempuh jarak 3 jam nonstop. Berkat sering mudik juga,
Mataram-Sumbawa, dengan si putih jadinya sy berinisiatif mengajak beberapa
teman ke pulau Moyo.
Pulau ini sangat terkenal seantero
Sumbawa (obviously) dan untuk beberapa kalangan. Terkenal karena mendiang Lady
Diana pernah menghabiskan waktunya di Pulau ini. Some of the fames also ever
visited that place such as David Beckham. Ironically, most of Sumbawanese have
not visited that island yet. Saya sendiri pertama kali mendengar tentang pulau
itu sejak SMA. Setiap kali saya menanyakan tentang kondisi yang pasti dan biaya
perjalanan ke sana, tak ada yang
memberikan jawaban yang memuaskan. Paling sering saya mendapatkan
jawaban “mahal”, indifinately. Tak pernah observasi lebih jauh karena sudah
terdokrin dengan kata “mahal” dan sy pun tidak memassukkanya ke list kunjungan.
Apa yang sebenarnya menarik dari pulau itu, saya sendiri tidak yakin,namun yang
pasti saya sangat penasaran.
Just for note, perjalanan kali ini sebenarnya
karena keberuntungan. Beruntung karena saya memiliki paman yang gila mancing.
Atas nama sebuah hobi, beliau rela mengeluarkan kocek dalam untuk membeli
sebuah perahu (karena bukan orang tajir, itu sudah pengorbanan yang luar biasa)
yang digunakan untuk memancing hampir setiap minggu atau kapan saja ada angka
warna merah di kalender. Dan sangat
kebetulan (Alhamdulillah alaa kulli hal), paman saya mancingnya dekat pulau tersebut.
Beliau janji akan mengantarkan saya ke pulau itu kapan saja saya mau dan boleh
ajak teman maksimal 10 orang dan solar kami tanggung sendiri. Sangat tidak
apa2, dari pada harus booking perahu yang “mahal”, sampai detik itu juga saya
tidak tahu tepatnya berapa.
Rencana sudah kami susun sejak Januari
2014, namun sayangnya cuaca belum mendukung. Jadilah perjalanan kami
terealisasi di bulan Mei 2014. Demi “pengiritan”, saya tawarin ke teman
kantor agar naik motor saja dari Mataram sampe tujuan. Tentu saja yang mau ikut
adalah yang memang gila jalan. Alhasil, hanya kami berlima, cewek semua, yang
nekat ke sana. Tak ada tanggal merah, jadi kami hanya memanfaatkan Sabtu Minggu.
Agar lebih cepat, kami mengawali perjalanan dari pukul 16.00 WITA (pas pulang
kerja karena kami sepakat tidak akan hengkang dari kerjaan). Namun pada
kenyataannya, pukul lima sore entah lewat berapa kami baru meninggalkan Mataram
(yaaah, begitulah cewek yang ngaku gila travelling tapi masih kelas cetek).
Perjalanan normal dari Mataram-Sumbawa
memerlukan waktu 3,5 jam untuk daratan dan 1,5 jam di laut jika menggunakan
motor. Ada beberapa alternatif menuju Sumbawa dari Mataram. Pertama menggunakan
travel dengan berbagai brand (Tiara Mas, Titian Mas, Sumbawa Utama, dan
Pancasari) dan harga tidak jauh berbeda, sekitar Rp 140.000,00. Kesemua moda
transport tersebut bermarkas di Mataram. Tidak seperti layanan travel di
kota-kota lainnya, travel dari Mataram tidak melayani penjemputan, jadi
penumpang harus menuju pool. Alternatif lain adalah menggunakan bus Damri yang
beroperasi (Mataram-Sumbawa) 2 kali setiap harinya yaitu 07.00 dan 22.00.
Penumpang hanya bisa membeli tiket di pool Sweta. Menggunakan jasa pesawat juga
dapat dilakukan. Saat ini, penerbangan dari Lombok-Sumbawa sudah mulai lancar. Alternatif
terakhir adalah membeli tiket Bus di Terminal Mandalika, Bertais.
Karena start udah terlalu sore,
maka kami mampir di sebuah masjid di Lombok Timur. Sangat patut menjuluki
Lombok sebagai daerah seribu masjid, karena sangat mudah dijumpai sepanjang
perjalanan. Selsesai sholat kami mampir makan. Sejam kemudian baru melanjutkan
perjalanan. Belum lama dari tempat mengganjal perut, hujan deras turun
tiba-tiba. Karena saya yang bertindak sebagai penunjuk jalan, maka terpisahlah
saya sendiri dengan rombongan. Ternyata saya cukup ngebut untuk mereka. Mereka
berteduh dengan aman di dalam warung sambil jeprat-jepret, sementara saya
menunggu di depan emperan bengkel sendirian. Benar-benar sepi, hanya beberapa
kendaraan yang melintas sementara tak ada satu rumahpun yang terbuka. Selain hujan
deras, mati lampu pula. Jadilah saya ditemani gadget. Karena rada was-was, sy mendengar alunan
Al-Qur’an. Alhamdulillah, hujan reda sekitar pukul 21.30. mereka segara
menyusul dan langsung naik kapal ferry di pelabuhan Kayangan.
kamera seadanya
Cukup melelahkan. Sebelum
merebahkan badan, kami sempatkan berfoto-foto terlebih dahulu (maklumlah
wanita). Perjalanan kapal lancer
sehingga hanya membutuhkan waktu 1,5 jam. Perjalanan kami lanjutkan dan sesuai
rencana,kami menginap dulu di rumah saya yang jaraknya sekitar 1 jam dari
pelabuhan Poto Tano.
Kami tiba di rumah pukul 00.00.
perjalanan yang amat sangat panjang dan tak pernah saya selama itu, 7,5 jam, it
was so exhausted. Namun rasa lelah hilang seketika ketika kami menyerbu meja
makan. Kepiting bumbu asam manis telah menunggu disantap. It such a beautiful
late night dinner. Salah satu anugerah di kampung saya adalah, ketersedian
hasil laut yang segar cukup melimpah dengan rasa yang tak ada duanya. Meskipun
tengah malam, namun kami masih asyik mengobrol, dan baru bisa tertidur sekitar
pukul 2 dini hari.
Target kami tiba di Sumbawa Besar
pukul 08.00. tapi yang terjadi adalah kami tiba pukul sekitar 10.00. lantaran
pada malas bangun, belum lagi acara dandan (yeah, that’s a girl). Dan ternyata
paman saya mulai marah-marah karena tidak menepati janji.
Setelah membeli perbekalan, kami
menuju perahu mesin yang diparkir di perkampungan nelayan masih wilayah Sumbawa
Besar. Untuk transportasi biasa, ada dua alternative yaitu melalui pelabuhan di
Goa Kompi atau di Badas. Melalui Goa Kompi kita harus booking perahu yang
berkisar 2juta rupiah PP dengan maksimal penumpang 15 orang. Penjemputan
berlaku sampai kapanpun sesuai jumlah hari yang kita rencanakan. Sedangkan
pelabuhan Badas merupakan jalur resmi yang langusng mengantarkan penumpang ke
hotel Amanwana yang dipatok dengan harga dolar (dan saya tidak tahu persis
berapa harganya).
Tidak ada yang tahu persis lama
perjalanan yang kami tempuh. Karena ingin menunjukkan keindahan pulau, maka
paman saya sengaja melalui tepi laut. Alhasil, kami terombang-ambing di lautan
selama 4 jam. Bagi orang yang tidak pernah melihat cantiknya pantai-pantai di
Lombok, pasti akan memuji pantai pulau Moyo, tapi buat kami itu biasa saja.
Dan seperti inilah hotel berbintang “Amanwana” yang terkenal mahalnya dan tempat yang pernah disinggahi oleh sang Lady. Saat itu (2014) harga kamar yang mengahadap ke pantai berkisar USD 1.025, sedangkan yang berada di dekat hutan dan penangkaran rusa berkisar USD 965.
Suara mesin cukup membuat mood berkurang. Wajah-wajah kelelahan mulai nampak dan kami berlima pun tertidur. Momen ketika ada Lumba-lumba muncul ke permukaan tak dapat kami saksikan (itu berdasarkan kehebohan adik sepupu saya dan kami agak ragu). Ketika terbangun, kami pun tersadar, kami tidak punya destinasi yang sesungguhnya. Bingung mau ngapain sebenarnya di pulau antah berantah ini. Beberapa kali paman saya menanyakan mau ngapain dan nginap dimana, kami hanya bisa menjawab dengan ragu-ragu "mau nginap di rumah pak Syukur kemudian besok mau ke air terjun", Just it. Mau nginap di hotel Amanwana of course impossible. Hasil browsing Ricka kemarin, kami akhirnya tau bahwa di pulau tersebut ada desa Labuhan Aji sebagai tempat transit backpacker. Di desa tersebut ada rumah warga yang dijadikan penginapan, yaitu rumah pak Syukur. Hanya rumah beliau yang menjadi harapan kami satu-satunya, even though we were clueless.
Paman saya mulai ikutan bingung
karena tidak mengerti seluk beluk pulau ini, hingga akhirnya memutuskan untuk menepi terlebih
dahulu. Demi menunaikan hajat para cacing yang mulai protes. Meskipun masih
galau mau ngapain selanjutnya, tapi bakar ikan di tepi pantai hasil tawar
menawar dengan nelayan yang kebetulan ketemu di tengah laut (kebayang gak beli
ikan di tengah laut?) cukup membuat suasana lumayan seru. Kami pun berpikir,
seharusnya pasang tenda dan menginap di pantai saja (note for other travelers and
that’s really recommended).
Kami melanjutkan
perjalanan mencari rumah pak Syukur. FYI, hanya ada 2 desa di sekitar pulau
Moyo dan masing-masing terdiri dari belasan kepala keluarga. Beberapa kilo dari
tempat pemeberhentian, kahirnya kami menemukan sebuah desa. Ada dermaga kecil
dan sebenarnya sudah tidak layak. Pas di depan dermaga tersebut ada sebuah
rumah bertingkat dan juga ada kios di bawahnya. Setelah bertanya, ternyata
rumah itulah punya pak Syukur. Dan kami langsung lega karena ternyata tidak sulit menemukannya. Rumah tersebut lumayan
bagus dan masih dalam tahap renovasi. Kamar yang disewa terletak di
lantai 2 dan menghadap ke laut. Hanya ada 4 kamar tidur dengan ruang tengah
yang cukup luas dan 2 kamar mandi. Suasananya cukup tenang dan perkepala
dikenai biaya Rp 250.000,00 per malam plus makan 3 kali dengan menu worth it.
Sunset and Rinjani
Bagaimanapun
kondisi pantai, jika memandang ke laut tetap saja ada decak kagum. Jangan harap
bisa seruan-seruan berlarian di sepanjang pantai dekat pemukiman tanpa alas
kaki. Semoga saja saat ini warga bisa menemukan alternatif yang baik untuk para
Kambing. Daaaan, setelah jam 6 sore hingga 6 pagi, warga baru bisa menikmati listrik.
So, jangan lupa men-charge semua barang-barang elektronik di waktu tersebut.
Kegalauan
masih berlanjut, dan kami mulai merakayasa skenario untuk
diceritakan ke teman-temak kantor agar kami tida ditertawakan atas segala
kenekatan kami. Gita yang mengarang ceritanya. Atas karangan dia, kami sepakat akan menceritakan semua yang indah-indah tentang pulau moyo. Harus ekpresif dan tunjukkan wajah puas. Kami tidak mau terlihat
konyol.
Pagi-pagi
kami packing barang sebelum ditinggal ke air terjun Mata Jitu. Oh iya, sebenarnya ada 2 air
terjun di pulau tersebut, Diwu Mbai dan Mata Jitu. Dari mbah google, yang lebih
menarik adalah Mata Jitu karena kami tidak punya cukup dan harus kembali ke Mataram hari itu juga. Untuk menuju air terjun tersebut, hanya ojek
satu-satunya alat tarnsportasi (karena tidak ada satu warga pun yang memiliki
mobil) yang bisa digunakan jika kamu tidak mau kaki gempor karena jalannya
selain jauh, juga agak terjal. Cukup keluarkan kocek Rp 70.000,00 PP. Jangan harap motor yang dipake selayaknya trail atau ngebayangin motor matic baru,
hanya seadanya bahkan motor butut hasil modifikasi. Ketika mulai meninggalkan perkampungan,
kamu akan dibuat berzikir sepanjang jalan dan teriak-teriak tapi harus tetap sadar
jangan sampe meluk si akang ojeknya ya kecuali kalau kamu ngebayangin dia bak
pangeran berkuda putih yang datang menyelamatkanmu. Adrenalin akan terpacu bagi
kamu yang awam dengan dunia motor trail.
Jarak tempuh dengan motor sekitar 15 menit
kemudian jalan sebentar agak menurun. Setiba kami di sana, tak ada kata yang
mampu keluar. Sejenak kami terdiam, kemudian berteriak. Inilah air terjun
terindah yang pernah saya lihat secara langsung.
abaikan modelnya
Harus melewati ini
Very natural, no human touch
Kamu tidak akan pernah sanggup untuk tidak mandi
Kang ojek, yang tiga lagi masih berendam
And then, we forgot about our conversation that we created in the night. the fact, kami menceritakan seadanya. Kasian gita yang udah ngarang cerita berjam-jam. dan di sini tidak boleh berlama-lama karena takut ketemu tamu hotel. menurut warga, air terjun tersebut sudah diakuisisi oleh Amanwana meskipun tidak termasuk dalam wilayah hotel. yeah, sometimes kita terjajah di daerah sendiri.
Oh iya, jangan lupa ngisi kotak amal untuk desa yang dipatok Rp 50.000,00 @each (kotak amal tapi ada patokan).
Sekitar pukul 10 siang, kami baru meninggalkan desa. targetnya, jam segitu seharusnya kami sudah ada di rumah saya agar nyampe Mataram sore hari. tapi perjalanan kami adalah perjalanan tanpa on time. Alhasil, kami baru meninggalkan Sumbawa Besar pukul 2 siang. dengan formasi tetap, saya sendirian dan memimpin di depan, ricka dan Gita di tengah, sedangkan Ipi dan Nisma di belakang. untuk melepaskan kantuk dan penat kami mampir di Rhee, ngopi dan makan jagung. trust me, its recommended, dengan latar seperti ini
agak gelap karena menjelang sore
Kami sudah menyantap hidangan, tapi Ipi dan Nisma belum juga nyusul. 15 menit berlalu dan saya mulai menghubungi mereka, tapi tak diangkat. Saya ingat sekali bahwa Ipi tidak sekalipun menyalip dan berada di depan. Dan dia lebih tangguh lagi kalau nyetir, ngebut pake banget. Kami mulai bingung. barulah beberapa lama batang hidungnya mulai nampak. Ternyata mereka kecelakaan gara-gara harus menghindari bus yang berhenti mendadak gara-gara ada kendaraan yang nyalip kendaraan lagi dari depan.
Luka di lutut Ipi dan lecet yang parah di motornya menambah cerita perjalanan kami. Setelah semua tenang, barulah kami melanjutkan perjalanan. Mampir sebentar di rumah untuk pamit, langsung cus ke Mataram. Tidak boleh bolos hari Senin apapun alasannya. Finally, nyampe Mataram sekitar pukul 10 malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar