Selasa, 02 Agustus 2016

My Faith

Surat Al-Isra ayat 23 dan 24 ini

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil"."

adalah bacaan yang berusaha aku praktekkan dan sebagai vitamin selama 10 bulan terakhir ini. Dan apakah aku berhasil?  wallahu 'alam bisshowab. Yang pasti aku merasa gagal setiap hari. Seandainya saja aku menerima raport setiap cawunya,  maka tak kan kuatlah aku melihat angka merah yang bertengger. 

Perintahnya sangat jelas, namun prakteknya membutuhkan kekuatan super setiap hari. Bagaimana tidak,  aku yang terbiasa hidup sendiri sejak lulus SMP, mengurus segala kebutuhanku, hanya tinggal menunggu kiriman bulanan dan berjumpa orang tua setiap liburan semester. itupun hanya beberapa minggu. Belum lagi ketika sudah menjalani masa kuliah,  yang ada hanya momen lebaran sebagai kesempatan bersua dengan ayah dan ibunda tercinta. Masa-masa itu tak bisa dihitung sebagai masa berbakti. Intinya, semasa hidup aku tak pernah mengurus ortuku hingga setahun terakhir ini dan saat ini adalah masa terlamaku bersama ibu,  bayangkan setahun sejak masa Pengayaan Bahasa berakhir.  Jadilah aku perawat pribadi beliau.

Ibuku divonis kanker payudara (Cancer Mammae)  4 tahun silam. Shock, sedih yang berlarut-larut sudah kami lewati saat itu. Dokter bedah sudah menganjurkan agar langsung dirujuk ke rumah sakit Sanglah Denpasar. Namun saat itu,  secara materi dan psikologis,  ibuku belum siap. Membayangkan chemotheraphy dan efeknya lah yang ibuku belum saggup. Ditambah lagi jarak tempat berobat yang jauh dari kampung halaman mebuat kami belum bisa meng-amini titah sang dokter. Saat itu aku masih bekerja,  adikku masih kuliah,  dan bapakku harus menjalan kewajibannya sebagai abdi negara. Belum ada yang bisa dikorbankan. Karena ibuku enggan menjalankan berbagai rangkaian therapy medis,  akhirnya ibuku memutuskan untuk mengkonsumsi obat herbal. Diminumlah kunyit putih dan daun sirsak yang diracik sedemikian rupa.

Sayangnya,  metastasepun tak terelakkan, terjadi ke bagian aksila kiri ibu. Benjolan besar yang sangat teraba. Ketika aku pulang pengayaan, ibuku menceritakan keluhannya. Kami sekeluarga memutuskan agar ibu menjalani medical treatment. Aku mengurusi segala keperluan rujukan dari dokter yang ditunjuk faskes ibu.  Kemudian bolak-balik ke kabupaten,  entah berapa kali dengan keputusan yang berubah-ubah. Akhirnya dokter Bedah memutuskan untuk  dirujuk saja ke Denpasar,  wilayah regional,  karena di Mataram belum lengkap fasilitas onkologinya. 

Urusan terus berlanjut di Rumah Sakit Provonsi. Dan alhmdulillah tidak seribet yang aku bayangkan. September 2015, berangkatlah kami (aku dan ibu) ke Denpasar. Di sinilah universitas kehidupanku dimulai. Perjalanan Bandung-Sumbawa-Mataram-Denpasar-Jakarta dalam 6 bulan. hidupku serasa ditiup angin. Tahun lalu seharusnya aku mendaftar kuliah. Keinginanku untuk pindah universitas dari Dalam Negeri menuju Luar Negeri tak pernah surut. Syukur LPDP memberikan kesempatan 1 tahun sejak masa PB berakhir untuk mencari kampus. Kesempatan itu aku manfaatkan untuk merawat ibu sambil memperbaiki IELTS setelah gagal pada tes di bulan Agustus 2015. 

Aku yang terbiasa hidup jauh dari ortu jadi bisa merasakan betapa egoisnya aku setelah hidup bersama ibu. Aku yang tak pernah punya beban tanggung jawab terhadap orang lain, mulai saat itu harus bisa menanggalkannya. Aku harus bisa mengalah, mendahulukan kemauan ibu dari pada mauku. Jadi, bukan kesedihan karena penyakit yang membebaniku,  tapi karena egoku yang tak kunjung reda. Bayangkan,  kata "ah" saja kita dilarang,  apalagi bermuka masam yang diiringi bentakan. Betapa beratnya tugas merawat ibu sendiri. Tak bisa kubayangkan ketika beliau merawatku ketika bayi dulu.

Aku harus bisa menjadi motivator setiap saat buat ibu. dalam waktu 1 tahun aku belajar mengabaikan segala sedih dan risauku. Aku ditempa jauh lebih keras dari seblumnya. Takberani aku tunjukkan wajah muram di depan ibu. Sekali saja aku bilang menyerah,  maka runtuhlah semangat sembuh ibu. Pernah ibu menangis ingin pulang ke kampung halaman lantaran lelah mengahdapi antrian di RS dan keputusan dokter yang belum jelas.

Ibu seorang yang perfectionist. Banyak sekali hal-hal yang bertentangan antara aku dan beliau. Beliau yang selalu rapi mengurus rumah, memasak setiap hari, sangat membenci ketidakrapian menuntutku berlaku sama seperti beliau. Aku? tak mewarisi sedikitpun sifat itu dari ibu. Aku melakukan hal-hal rumah tangga jika rasa malas dan capek hilang,  sedangkan ibu badannya capek jika tidak berbenah-benah. Sungguh ironis. Kesempatan itu membuatku belajar, memaksa diri melakukan apa yang tidak aku sukai demi kebaikanku sendiri.

Disela-sela mengurus ibu,  aku mengurus segala keperluan Persiapan Kebarangakatan (PK, kegiatan dari LPDP), menata hati yang baru saja tertimpa musibah,  dan belajar IELTS. Pernah rasanya aku ingin teriak dan protes tapi tak tau pada siapa. Dan aku sadar,  itu semua karena aku tak pandai mengatur diri. Tak pandai dalam manajemen Qalbu. Betapa aku tidak pandai dalam segala hal.  Mulailah aku belajar mengerjakan IELTS disela-sela antrianku di RS atau bahkan di bangsal RS ketika ibu harus diopname. Keadaan boleh tidak mendukungku dalam meraih apa yang sudah aku cita-citakan,  tapi mimpiku tidak boleh berakhir dampe di sini. Pernah sekali aku ingin menyerah,  dan aku sampaikan ke ibu bahwa nasibku memang harus kuliah di dalan negeri. Dan sungguh jawaban ibu mampu melecut semangatku kembali. Ternyata ibu sangat mengharapkanku untuk kuliah di luar.

Aku yang terbiasa jalan-jalan di setiap weekend memanjakan mata dengan sajian alam Lombok, nongkrong dengan teman-teman tanpa harus ijin ortu. Kini,  harus bisa aku tahan segala kesenangan itu. Saatnya aku belajar untuk hidup dalam arti yang sebenarnya.

Dan sekarang,  ketika kondisi ibu yang tak semakin membaik,  apakah aku menyesali semuanya? Tidak sama sekali. Aku sungguh-sungguh bersyukur. Allah memberiku kesempatan emas ini. memberiku kesempatan untuk bisa lebih dekat lagi dengan ortu,  merawat beliau sebentar selagi aku bisa. Rancangan ini sungguh indah, jauh dari apa yang telah aku rancang. Kesempatan berkumpul dengan teman-teman,  mengeksplorasi indahnya Indonesia bisa aku lakukan di waktu yang lain. Tapi berbakti sepenuhnya kepada ortu belum tentu aku dapatkan. Aku yang setahun lalu amat sangat egois,  kini terasa sedikit telah luntur. Aku juga belajar bagaimana cinta yang sebenarnya melalui perlakuan bapak ke ibu atau sebaliknya.

Sungguh,  pelajaran ini adalah hal yang amat sangat berharga dalam hidupku. Aku tau,  ini hanya secuil dari segala nikmat Allah yang aku sadari. Tapi,  apakah ada manusia yang mampu menghitung nikmat Allah meskipun lautan di muka bumi ini sebagai tintanya dan dedaunan sebagai kertasnya?

Dari segala nikmatnya cobaan ini, dan aku berhasil menglahkan segala ragu dan kelemehanku. setelah 3 kali berjuang dengan real test IELTS,  kini aku bisa melangkah ke benua biru. Swedia akhirnya menjadi destinasi aku memperdalam ilmu di bangku formal. 

Selasa, 02 Februari 2016

Islam dan Globalisasi

Menarik sekali ketika dengan tidak sengaja saya menemukan jurnal yang ditulis oleh Ronnald Lukens-Bull, Ph.D dari Universitas North Florida. Judul asli dari jurnal tersebut adalah “Islamization as Part of Globalization: Some Southest Asian Examples”.  Intinya, Islam dalam kaitannya dengan globalisasi bukanlah sebuah objek melainkan subjek. Artinya, islam berperan penting dalam proses globalisasi jauh sebelum dicetusnya istilah globalisasi itu sendiri. Berikut saya uraikan resume dari jurnal ini.
Istilah globalisasi diartikan sebagai proses terintegrasinya sistem kapitalis dengan sistem lokal yang umumnya melibatkan sistem perdagangan dan investasi. Hal ini tentunya mempengaruhi aspek kehidupan manusia, seperti teknologi, ekonomi, politik, budaya, dan agama. Banyak para ahli mendefinisikan globalisasi sebagai pengaruh sistem dunia barat. Hal ini juga diaminkan oleh orang-orang Asia terutama Indonesia sendiri bahwa globalisasi adalah mengikuti trend Barat.
Definisi-definisi yang mengidentikkan globalisasi dengan dunia barat, menurut Bull itu adalah suatu kesalahan dan sangat penting untuk dikoreksi. Pasalnya, Islam telah memulai proses ini sejak zaman Khalifah ketika ajaran Islam ingin disebarkan di luar Arab. Penyebaran Islam tak hanya murni idealism tetapi juga disertai dengan perdagangan, pembangunaan kerajaan, dan penyebaran wilayah penaklukan. Bahkan Bull juga menjelaskan bahwa Muslim sangat aktif berkiprah pada proses globalisasi. Kiprah Muslim  tidak bergantung dari pola pergerakan dunia Barat. Namun sayangnya, tak jarang orang-orang Barat (Eropa dan Amerika) menilai Islam sebagai symbol teror, kerusakan dan hal-hal negatif lainnya.
Westernisasi dan modernisasi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari globalisasi. Proses ini hadir sejak terjadinya kolonialisme beberapa negara Eropa di Negara-negara Asia. Bahkan disebutkan bahwa kolonialisasi adalah embrio dari globalisasi. Misi penyebaran ajaran Islam dikaitkan dengan kolonialisasi sehingga Islam akhirnya tersebar di Peninsula, Afrika, Eropa, kemudian Asia.
Dalam model Appadurai, globalisasi Islam melalui 5 tahap. Pertama adalah migrasi (Ethnoscapes) yaitu melalui pelajar Indonesia atau Muslim lainnya yang menempuh studi lanjut di Negara-negara Barat dan proses menunaikan ibadah haji di Mekah. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetehuan, terjadi interakasi antara mahasiswa dengan dosen sehingga sama-sama memberikan pengaruh. Bukan hanya sekedar diskusi tentang bidang yang diperdalam, tetapi juga terjadi perkenalan budaya. Tentunya sebagai mahasiswa muslim dari Indonesia (sebagai contoh) secara tidak langsung akan menjelaskan tentang Islam.
Kedua adalah teknologi (Technoscapes). Lain halnya dengan proses ibadah ke tanah suci. Dalam jurnal tersebut dijelaskan betapa teknologi dan social media mempengaruhi perkembangan fasilitas dan sistem komunikasi demi kenyamanan jama’ah haji.
Ketiga keuangan (financescapes). Proses ini hadir sejak terjadinya kolonialisasi. Bull mengatakan bahwa, jika kita mempelajari sejarah dengan hati-hati, kita akan melihat globalisasi Islam sudah berjalan ketika kolonialisasi Eropa bahkan menjadi katalis bagi kolonialisasi Barat.  Sebagai contoh, Isabella dan Ferndinand ingin menemukan rute lain ke Indinia dan Cina dengan tujuan untuk jual beli hasil bumi dengan maksud sebenarnya adalah untuk mengatahui rute ke Negara-negara Asia. Maka dari muslim yang telah mencapai Eropalah kedua orang tersebut mendapatkan informasi mengenai rute-rute yang ingin diketahui. Yang termasuk kategori keuangan dalam era modern ini adalah ekonomi syariah. Bank-bank syari’ah yang awalnya berasal dari Saudi Arabia kemudian diikuti oleh Negara-negara Asia yang penduduk muslimnya bukan minoritas, tentunya Indonesia. Hingga tahun 2004, bank syari’ah mulai beroperasi di Britania Raya (inggris). Di Australia pun, bank Syari’ah terus berkembang. Bahkan di Amerika Timur, sistem syariah diterapkan bukan hanya bank syari’ah tetapi juga bebrapa industry, real estate, medical clinic, dll.
Keempat ajaran (ideoscapes). Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pembangunan pesantren di Indonesia dan Negara-negara mayoritas Islam lainnya.

Dan yang terakhir adalah media. Globalisasi islam juga terekam melalui film-film documenter yang dikemas melalui DVD, CD, TV dan lain sebagainya. Tak lupa pula Upin Ipin berkontribusi dalam penyebaran agama Islam. Melalui film ini, yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia, khalayak menjadi tahu bahwa di dalam Islam tidak ada perbedaan dalam ras dan warna kulit. Hal ini terlihat dari teman-teman Upin Ipin yaitu Jarjit dari India dan Mei Mei keturunan China. Serial ini sudah dapat ditonton melalui saluran Disney Chanel Asia line-up.

Rabu, 13 Januari 2016

Pulau Favorit Mendiang Lady Diana, Katanya

Ironis sekali, sebagai anak asli Sumbawa, tanpa ada darah blasteran sedikitpun, saya tak tahu banyak tentang spot wisata di Sumbawa. Sy malah lebih sering berkeliaran di Lombok, menjelejahi pantai2 dan air terjun nan eksotis karena Alhmdulillah Allah memberikan sy kesempatan untuk menerapkan ilmu sy di BBPOM Mataram. Berkelana dengan si putih (motor kesayangan) sudah sering sy lakukan dan bisa dibilang sudah terlatih menempuh jarak 3 jam nonstop. Berkat sering mudik juga, Mataram-Sumbawa, dengan si putih jadinya sy berinisiatif mengajak beberapa teman ke pulau Moyo.

Pulau ini sangat terkenal seantero Sumbawa (obviously) dan untuk beberapa kalangan. Terkenal karena mendiang Lady Diana pernah menghabiskan waktunya di Pulau ini. Some of the fames also ever visited that place such as David Beckham. Ironically, most of Sumbawanese have not visited that island yet. Saya sendiri pertama kali mendengar tentang pulau itu sejak SMA. Setiap kali saya menanyakan tentang kondisi yang pasti dan biaya perjalanan ke sana, tak ada yang  memberikan jawaban yang memuaskan. Paling sering saya mendapatkan jawaban “mahal”, indifinately. Tak pernah observasi lebih jauh karena sudah terdokrin dengan kata “mahal” dan sy pun tidak memassukkanya ke list kunjungan. Apa yang sebenarnya menarik dari pulau itu, saya sendiri tidak yakin,namun yang pasti saya sangat penasaran.

Just for note, perjalanan kali ini sebenarnya karena keberuntungan. Beruntung karena saya memiliki paman yang gila mancing. Atas nama sebuah hobi, beliau rela mengeluarkan kocek dalam untuk membeli sebuah perahu (karena bukan orang tajir, itu sudah pengorbanan yang luar biasa) yang digunakan untuk memancing hampir setiap minggu atau kapan saja ada angka warna merah di kalender.  Dan sangat kebetulan (Alhamdulillah alaa kulli hal), paman saya mancingnya dekat pulau tersebut. Beliau janji akan mengantarkan saya ke pulau itu kapan saja saya mau dan boleh ajak teman maksimal 10 orang dan solar kami tanggung sendiri. Sangat tidak apa2, dari pada harus booking perahu yang “mahal”, sampai detik itu juga saya tidak tahu tepatnya berapa.

Rencana sudah kami susun sejak Januari 2014, namun sayangnya cuaca belum mendukung. Jadilah perjalanan kami terealisasi di bulan Mei 2014. Demi “pengiritan”, saya tawarin ke teman kantor agar naik motor saja dari Mataram sampe tujuan. Tentu saja yang mau ikut adalah yang memang gila jalan. Alhasil, hanya kami berlima, cewek semua, yang nekat ke sana. Tak ada tanggal merah, jadi kami hanya memanfaatkan Sabtu Minggu. Agar lebih cepat, kami mengawali perjalanan dari pukul 16.00 WITA (pas pulang kerja karena kami sepakat tidak akan hengkang dari kerjaan). Namun pada kenyataannya, pukul lima sore entah lewat berapa kami baru meninggalkan Mataram (yaaah, begitulah cewek yang ngaku gila travelling tapi masih kelas cetek).

Perjalanan normal dari Mataram-Sumbawa memerlukan waktu 3,5 jam untuk daratan dan 1,5 jam di laut jika menggunakan motor. Ada beberapa alternatif menuju Sumbawa dari Mataram. Pertama menggunakan travel dengan berbagai brand (Tiara Mas, Titian Mas, Sumbawa Utama, dan Pancasari) dan harga tidak jauh berbeda, sekitar Rp 140.000,00. Kesemua moda transport tersebut bermarkas di Mataram. Tidak seperti layanan travel di kota-kota lainnya, travel dari Mataram tidak melayani penjemputan, jadi penumpang harus menuju pool. Alternatif lain adalah menggunakan bus Damri yang beroperasi (Mataram-Sumbawa) 2 kali setiap harinya yaitu 07.00 dan 22.00. Penumpang hanya bisa membeli tiket di pool Sweta. Menggunakan jasa pesawat juga dapat dilakukan. Saat ini, penerbangan dari Lombok-Sumbawa sudah mulai lancar. Alternatif terakhir adalah membeli tiket Bus di Terminal Mandalika, Bertais.


Karena start udah terlalu sore, maka kami mampir di sebuah masjid di Lombok Timur. Sangat patut menjuluki Lombok sebagai daerah seribu masjid, karena sangat mudah dijumpai sepanjang perjalanan. Selsesai sholat kami mampir makan. Sejam kemudian baru melanjutkan perjalanan. Belum lama dari tempat mengganjal perut, hujan deras turun tiba-tiba. Karena saya yang bertindak sebagai penunjuk jalan, maka terpisahlah saya sendiri dengan rombongan. Ternyata saya cukup ngebut untuk mereka. Mereka berteduh dengan aman di dalam warung sambil jeprat-jepret, sementara saya menunggu di depan emperan bengkel sendirian. Benar-benar sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas sementara tak ada satu rumahpun yang terbuka. Selain hujan deras, mati lampu pula. Jadilah saya ditemani gadget.  Karena rada was-was, sy mendengar alunan Al-Qur’an. Alhamdulillah, hujan reda sekitar pukul 21.30. mereka segara menyusul dan langsung naik kapal ferry di pelabuhan Kayangan.

kamera seadanya

Cukup melelahkan. Sebelum merebahkan badan, kami sempatkan berfoto-foto terlebih dahulu (maklumlah wanita).  Perjalanan kapal lancer sehingga hanya membutuhkan waktu 1,5 jam. Perjalanan kami lanjutkan dan sesuai rencana,kami menginap dulu di rumah saya yang jaraknya sekitar 1 jam dari pelabuhan Poto Tano.

Kami tiba di rumah pukul 00.00. perjalanan yang amat sangat panjang dan tak pernah saya selama itu, 7,5 jam, it was so exhausted. Namun rasa lelah hilang seketika ketika kami menyerbu meja makan. Kepiting bumbu asam manis telah menunggu disantap. It such a beautiful late night dinner. Salah satu anugerah di kampung saya adalah, ketersedian hasil laut yang segar cukup melimpah dengan rasa yang tak ada duanya. Meskipun tengah malam, namun kami masih asyik mengobrol, dan baru bisa tertidur sekitar pukul 2 dini hari.

Target kami tiba di Sumbawa Besar pukul 08.00. tapi yang terjadi adalah kami tiba pukul sekitar 10.00. lantaran pada malas bangun, belum lagi acara dandan (yeah, that’s a girl). Dan ternyata paman saya mulai marah-marah karena tidak menepati janji.

Setelah membeli perbekalan, kami menuju perahu mesin yang diparkir di perkampungan nelayan masih wilayah Sumbawa Besar. Untuk transportasi biasa, ada dua alternative yaitu melalui pelabuhan di Goa Kompi atau di Badas. Melalui Goa Kompi kita harus booking perahu yang berkisar 2juta rupiah PP dengan maksimal penumpang 15 orang. Penjemputan berlaku sampai kapanpun sesuai jumlah hari yang kita rencanakan. Sedangkan pelabuhan Badas merupakan jalur resmi yang langusng mengantarkan penumpang ke hotel Amanwana yang dipatok dengan harga dolar (dan saya tidak tahu persis berapa harganya).

Tidak ada yang tahu persis lama perjalanan yang kami tempuh. Karena ingin menunjukkan keindahan pulau, maka paman saya sengaja melalui tepi laut. Alhasil, kami terombang-ambing di lautan selama 4 jam. Bagi orang yang tidak pernah melihat cantiknya pantai-pantai di Lombok, pasti akan memuji pantai pulau Moyo, tapi buat kami itu biasa saja.


Dan seperti inilah hotel berbintang “Amanwana” yang terkenal mahalnya dan tempat yang pernah disinggahi oleh sang Lady. Saat itu (2014) harga kamar yang mengahadap ke pantai berkisar USD 1.025, sedangkan  yang berada di dekat hutan dan penangkaran rusa berkisar USD 965.


Suara mesin cukup membuat mood berkurang. Wajah-wajah kelelahan mulai nampak dan kami berlima pun tertidur. Momen ketika ada Lumba-lumba muncul ke permukaan tak dapat kami saksikan (itu berdasarkan kehebohan adik sepupu saya dan kami agak ragu). Ketika terbangun, kami pun tersadar, kami tidak punya destinasi yang sesungguhnya. Bingung mau ngapain sebenarnya di pulau antah berantah ini. Beberapa kali paman saya menanyakan mau ngapain dan nginap dimana, kami hanya bisa menjawab dengan ragu-ragu "mau nginap di rumah pak Syukur kemudian besok mau ke air terjun", Just it. Mau nginap di hotel Amanwana of course impossible. Hasil browsing Ricka kemarin, kami akhirnya tau bahwa di pulau tersebut ada desa Labuhan Aji sebagai tempat transit backpacker. Di desa tersebut ada rumah warga yang dijadikan penginapan, yaitu rumah pak Syukur. Hanya rumah beliau yang menjadi harapan kami satu-satunya, even though we were clueless.
Paman saya mulai ikutan bingung karena tidak mengerti seluk beluk pulau ini, hingga akhirnya memutuskan untuk menepi terlebih dahulu. Demi menunaikan hajat para cacing yang mulai protes. Meskipun masih galau mau ngapain selanjutnya, tapi bakar ikan di tepi pantai hasil tawar menawar dengan nelayan yang kebetulan ketemu di tengah laut (kebayang gak beli ikan di tengah laut?) cukup membuat suasana lumayan seru. Kami pun berpikir, seharusnya pasang tenda dan menginap di pantai saja (note for other travelers and that’s really recommended).  
Kami melanjutkan perjalanan mencari rumah pak Syukur. FYI, hanya ada 2 desa di sekitar pulau Moyo dan masing-masing terdiri dari belasan kepala keluarga. Beberapa kilo dari tempat pemeberhentian, kahirnya kami menemukan sebuah desa. Ada dermaga kecil dan sebenarnya sudah tidak layak. Pas di depan dermaga tersebut ada sebuah rumah bertingkat dan juga ada kios di bawahnya. Setelah bertanya, ternyata rumah itulah punya pak Syukur. Dan kami langsung lega karena ternyata tidak sulit menemukannya. Rumah tersebut lumayan bagus dan masih dalam tahap renovasi. Kamar yang disewa terletak di lantai 2 dan menghadap ke laut. Hanya ada 4 kamar tidur dengan ruang tengah yang cukup luas dan 2 kamar mandi. Suasananya cukup tenang dan perkepala dikenai biaya Rp 250.000,00 per malam plus makan 3 kali dengan menu worth it.

Sunset and Rinjani

Bagaimanapun kondisi pantai, jika memandang ke laut tetap saja ada decak kagum. Jangan harap bisa seruan-seruan berlarian di sepanjang pantai dekat pemukiman tanpa alas kaki. Semoga saja saat ini warga bisa menemukan alternatif yang baik untuk para Kambing. Daaaan, setelah jam 6 sore hingga 6 pagi, warga baru bisa menikmati listrik. So, jangan lupa men-charge semua barang-barang elektronik di waktu tersebut.
Kegalauan masih berlanjut, dan kami mulai merakayasa skenario untuk diceritakan ke teman-temak kantor agar kami tida ditertawakan atas segala kenekatan kami. Gita yang mengarang ceritanya. Atas karangan dia, kami sepakat akan menceritakan semua yang indah-indah tentang pulau moyo. Harus ekpresif dan tunjukkan wajah puas. Kami tidak mau terlihat konyol.
Pagi-pagi kami packing barang sebelum ditinggal ke air terjun  Mata Jitu. Oh iya, sebenarnya ada 2 air terjun di pulau tersebut, Diwu Mbai dan Mata Jitu. Dari mbah google, yang lebih menarik adalah Mata Jitu karena kami tidak punya cukup dan harus kembali ke Mataram hari itu juga. Untuk menuju air terjun tersebut, hanya ojek satu-satunya alat tarnsportasi (karena tidak ada satu warga pun yang memiliki mobil) yang bisa digunakan jika kamu tidak mau kaki gempor karena jalannya selain jauh, juga agak terjal. Cukup keluarkan kocek Rp 70.000,00 PP. Jangan harap motor yang dipake selayaknya trail atau ngebayangin motor matic baru, hanya seadanya bahkan motor butut hasil modifikasi. Ketika mulai meninggalkan perkampungan, kamu akan dibuat berzikir sepanjang jalan dan teriak-teriak tapi harus tetap sadar jangan sampe meluk si akang ojeknya ya kecuali kalau kamu ngebayangin dia bak pangeran berkuda putih yang datang menyelamatkanmu. Adrenalin akan terpacu bagi kamu yang awam dengan dunia motor trail.
Jarak tempuh dengan motor sekitar 15 menit kemudian jalan sebentar agak menurun. Setiba kami di sana, tak ada kata yang mampu keluar. Sejenak kami terdiam, kemudian berteriak. Inilah air terjun terindah yang pernah saya lihat secara langsung. 


abaikan modelnya

Harus melewati ini 

Very natural, no human touch

Kamu tidak akan pernah sanggup untuk tidak mandi

Kang ojek, yang tiga lagi masih berendam

 And then, we forgot about our conversation that we created in the night. the fact, kami menceritakan seadanya. Kasian gita yang udah ngarang cerita berjam-jam. dan di sini tidak boleh berlama-lama karena takut ketemu tamu hotel. menurut warga, air terjun tersebut sudah diakuisisi oleh Amanwana meskipun tidak termasuk dalam wilayah hotel. yeah, sometimes kita terjajah di daerah sendiri.

Oh iya, jangan lupa ngisi kotak amal untuk desa yang dipatok Rp 50.000,00 @each (kotak amal tapi ada patokan).

Sekitar pukul 10 siang, kami baru meninggalkan desa. targetnya, jam segitu seharusnya kami sudah ada di rumah saya agar nyampe Mataram sore hari. tapi perjalanan kami adalah perjalanan tanpa on time. Alhasil, kami baru meninggalkan Sumbawa Besar pukul 2 siang. dengan formasi tetap, saya sendirian dan memimpin di depan, ricka dan Gita di tengah, sedangkan Ipi dan Nisma di belakang. untuk melepaskan kantuk dan penat kami mampir di Rhee, ngopi dan makan jagung. trust me, its recommended, dengan latar seperti ini

agak gelap karena menjelang sore

Kami sudah menyantap hidangan, tapi Ipi dan Nisma belum juga nyusul. 15 menit berlalu dan saya mulai menghubungi mereka, tapi tak diangkat. Saya ingat sekali bahwa Ipi tidak sekalipun menyalip dan berada di depan. Dan dia lebih tangguh lagi kalau nyetir, ngebut pake banget. Kami mulai bingung. barulah beberapa lama batang hidungnya mulai nampak. Ternyata mereka kecelakaan gara-gara harus menghindari bus yang berhenti mendadak gara-gara ada kendaraan yang nyalip kendaraan lagi dari depan. 

Luka di lutut Ipi dan lecet yang parah di motornya menambah cerita perjalanan kami. Setelah semua tenang, barulah kami melanjutkan perjalanan. Mampir sebentar di rumah untuk pamit, langsung cus ke Mataram. Tidak boleh bolos hari Senin apapun alasannya. Finally, nyampe Mataram sekitar pukul 10 malam.