Selasa, 02 Agustus 2016

My Faith

Surat Al-Isra ayat 23 dan 24 ini

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil"."

adalah bacaan yang berusaha aku praktekkan dan sebagai vitamin selama 10 bulan terakhir ini. Dan apakah aku berhasil?  wallahu 'alam bisshowab. Yang pasti aku merasa gagal setiap hari. Seandainya saja aku menerima raport setiap cawunya,  maka tak kan kuatlah aku melihat angka merah yang bertengger. 

Perintahnya sangat jelas, namun prakteknya membutuhkan kekuatan super setiap hari. Bagaimana tidak,  aku yang terbiasa hidup sendiri sejak lulus SMP, mengurus segala kebutuhanku, hanya tinggal menunggu kiriman bulanan dan berjumpa orang tua setiap liburan semester. itupun hanya beberapa minggu. Belum lagi ketika sudah menjalani masa kuliah,  yang ada hanya momen lebaran sebagai kesempatan bersua dengan ayah dan ibunda tercinta. Masa-masa itu tak bisa dihitung sebagai masa berbakti. Intinya, semasa hidup aku tak pernah mengurus ortuku hingga setahun terakhir ini dan saat ini adalah masa terlamaku bersama ibu,  bayangkan setahun sejak masa Pengayaan Bahasa berakhir.  Jadilah aku perawat pribadi beliau.

Ibuku divonis kanker payudara (Cancer Mammae)  4 tahun silam. Shock, sedih yang berlarut-larut sudah kami lewati saat itu. Dokter bedah sudah menganjurkan agar langsung dirujuk ke rumah sakit Sanglah Denpasar. Namun saat itu,  secara materi dan psikologis,  ibuku belum siap. Membayangkan chemotheraphy dan efeknya lah yang ibuku belum saggup. Ditambah lagi jarak tempat berobat yang jauh dari kampung halaman mebuat kami belum bisa meng-amini titah sang dokter. Saat itu aku masih bekerja,  adikku masih kuliah,  dan bapakku harus menjalan kewajibannya sebagai abdi negara. Belum ada yang bisa dikorbankan. Karena ibuku enggan menjalankan berbagai rangkaian therapy medis,  akhirnya ibuku memutuskan untuk mengkonsumsi obat herbal. Diminumlah kunyit putih dan daun sirsak yang diracik sedemikian rupa.

Sayangnya,  metastasepun tak terelakkan, terjadi ke bagian aksila kiri ibu. Benjolan besar yang sangat teraba. Ketika aku pulang pengayaan, ibuku menceritakan keluhannya. Kami sekeluarga memutuskan agar ibu menjalani medical treatment. Aku mengurusi segala keperluan rujukan dari dokter yang ditunjuk faskes ibu.  Kemudian bolak-balik ke kabupaten,  entah berapa kali dengan keputusan yang berubah-ubah. Akhirnya dokter Bedah memutuskan untuk  dirujuk saja ke Denpasar,  wilayah regional,  karena di Mataram belum lengkap fasilitas onkologinya. 

Urusan terus berlanjut di Rumah Sakit Provonsi. Dan alhmdulillah tidak seribet yang aku bayangkan. September 2015, berangkatlah kami (aku dan ibu) ke Denpasar. Di sinilah universitas kehidupanku dimulai. Perjalanan Bandung-Sumbawa-Mataram-Denpasar-Jakarta dalam 6 bulan. hidupku serasa ditiup angin. Tahun lalu seharusnya aku mendaftar kuliah. Keinginanku untuk pindah universitas dari Dalam Negeri menuju Luar Negeri tak pernah surut. Syukur LPDP memberikan kesempatan 1 tahun sejak masa PB berakhir untuk mencari kampus. Kesempatan itu aku manfaatkan untuk merawat ibu sambil memperbaiki IELTS setelah gagal pada tes di bulan Agustus 2015. 

Aku yang terbiasa hidup jauh dari ortu jadi bisa merasakan betapa egoisnya aku setelah hidup bersama ibu. Aku yang tak pernah punya beban tanggung jawab terhadap orang lain, mulai saat itu harus bisa menanggalkannya. Aku harus bisa mengalah, mendahulukan kemauan ibu dari pada mauku. Jadi, bukan kesedihan karena penyakit yang membebaniku,  tapi karena egoku yang tak kunjung reda. Bayangkan,  kata "ah" saja kita dilarang,  apalagi bermuka masam yang diiringi bentakan. Betapa beratnya tugas merawat ibu sendiri. Tak bisa kubayangkan ketika beliau merawatku ketika bayi dulu.

Aku harus bisa menjadi motivator setiap saat buat ibu. dalam waktu 1 tahun aku belajar mengabaikan segala sedih dan risauku. Aku ditempa jauh lebih keras dari seblumnya. Takberani aku tunjukkan wajah muram di depan ibu. Sekali saja aku bilang menyerah,  maka runtuhlah semangat sembuh ibu. Pernah ibu menangis ingin pulang ke kampung halaman lantaran lelah mengahdapi antrian di RS dan keputusan dokter yang belum jelas.

Ibu seorang yang perfectionist. Banyak sekali hal-hal yang bertentangan antara aku dan beliau. Beliau yang selalu rapi mengurus rumah, memasak setiap hari, sangat membenci ketidakrapian menuntutku berlaku sama seperti beliau. Aku? tak mewarisi sedikitpun sifat itu dari ibu. Aku melakukan hal-hal rumah tangga jika rasa malas dan capek hilang,  sedangkan ibu badannya capek jika tidak berbenah-benah. Sungguh ironis. Kesempatan itu membuatku belajar, memaksa diri melakukan apa yang tidak aku sukai demi kebaikanku sendiri.

Disela-sela mengurus ibu,  aku mengurus segala keperluan Persiapan Kebarangakatan (PK, kegiatan dari LPDP), menata hati yang baru saja tertimpa musibah,  dan belajar IELTS. Pernah rasanya aku ingin teriak dan protes tapi tak tau pada siapa. Dan aku sadar,  itu semua karena aku tak pandai mengatur diri. Tak pandai dalam manajemen Qalbu. Betapa aku tidak pandai dalam segala hal.  Mulailah aku belajar mengerjakan IELTS disela-sela antrianku di RS atau bahkan di bangsal RS ketika ibu harus diopname. Keadaan boleh tidak mendukungku dalam meraih apa yang sudah aku cita-citakan,  tapi mimpiku tidak boleh berakhir dampe di sini. Pernah sekali aku ingin menyerah,  dan aku sampaikan ke ibu bahwa nasibku memang harus kuliah di dalan negeri. Dan sungguh jawaban ibu mampu melecut semangatku kembali. Ternyata ibu sangat mengharapkanku untuk kuliah di luar.

Aku yang terbiasa jalan-jalan di setiap weekend memanjakan mata dengan sajian alam Lombok, nongkrong dengan teman-teman tanpa harus ijin ortu. Kini,  harus bisa aku tahan segala kesenangan itu. Saatnya aku belajar untuk hidup dalam arti yang sebenarnya.

Dan sekarang,  ketika kondisi ibu yang tak semakin membaik,  apakah aku menyesali semuanya? Tidak sama sekali. Aku sungguh-sungguh bersyukur. Allah memberiku kesempatan emas ini. memberiku kesempatan untuk bisa lebih dekat lagi dengan ortu,  merawat beliau sebentar selagi aku bisa. Rancangan ini sungguh indah, jauh dari apa yang telah aku rancang. Kesempatan berkumpul dengan teman-teman,  mengeksplorasi indahnya Indonesia bisa aku lakukan di waktu yang lain. Tapi berbakti sepenuhnya kepada ortu belum tentu aku dapatkan. Aku yang setahun lalu amat sangat egois,  kini terasa sedikit telah luntur. Aku juga belajar bagaimana cinta yang sebenarnya melalui perlakuan bapak ke ibu atau sebaliknya.

Sungguh,  pelajaran ini adalah hal yang amat sangat berharga dalam hidupku. Aku tau,  ini hanya secuil dari segala nikmat Allah yang aku sadari. Tapi,  apakah ada manusia yang mampu menghitung nikmat Allah meskipun lautan di muka bumi ini sebagai tintanya dan dedaunan sebagai kertasnya?

Dari segala nikmatnya cobaan ini, dan aku berhasil menglahkan segala ragu dan kelemehanku. setelah 3 kali berjuang dengan real test IELTS,  kini aku bisa melangkah ke benua biru. Swedia akhirnya menjadi destinasi aku memperdalam ilmu di bangku formal.